LOKANANTA
Menyelamatkan Musik Indonesia
" Sebuah cerita tentang pabrik piringan hitam sekaligus
perusahaan rekaman tertua milik pemerintah Republik Indonesia. "
Oleh: Ayos Purwoaji dan Fakhri Zakaria
Narasumber : Rolling Stone
Gedung Lokananta di Solo. (Foto: Wendi Putranto) |
Solo - Titik Sugiyanti memandangi ribuan piringan hitam
penuh debu di depan matanya. Ruang penyimpanan tanpa pendingin itu penuh dengan
ratusan rak besi yang menyimpan hampir 40.000 kaset, vinyl dari
berbagai genre. Meski di luar Malaysia berkoar-koar mengakui bahwa lagu
“Negaraku” adalah milik mereka, namun Titik yakin, di satu tempat dalam ruangan
ini, Lokananta menyimpan versi aslinya.
Setelah hampir seminggu melakukan pemilahan yang melelahkan, akhirnya lagu yang
membuat kehebohan tadi ditemukan. Judul aslinya adalah “Terang Bulan” ciptaan
Saiful Bahri yang asli orang Indonesia. Dalam arsip Lokananta lagu berdurasi 11
menit 15 detik ini pernah direkam di RRI Jakarta tahun 1956 dan dipindahkan ke
piringan hitam oleh Lokananta pada 16 Maret 1965. Penyanyinya adalah Orkes
Studio Djakarta yang dipimpin langsung oleh Saiful Bahri.
Pada perkembangannya lagu bernuansa keroncong melayu inilah yang memikat
pemerintah Malaysia yang baru merdeka untuk dijadikan lagu negara. Aden Bahri,
ahli waris lagu "Terang Bulan" menuturkan bahwa lagu ini dihadiahkan
presiden Soekarno untuk Malaysia. “Waktu itu hubungan Indonesia dengan negeri
jiran masih sangat baik. Karena lagu ini juga akhirnya ayah saya mendapat
penghargaan dari pemerintah Malaysia, fotonya masih ada”.
Cerita kembali terulang. Kali ini adalah lagu “Rasa Sayang Eh” yang muncul di
iklan promosi pariwisata Malaysia. Dalam videonya, lagu ini dinyanyikan secara
bergantian oleh anak kecil hingga orang tua. Sepertinya lagu ini memang sudah
mengakar dalam budaya Malaysia. Tapi tunggu dulu, lagu ini –baik lirik dan
nadanya- tidak lain adalah lagu tradisonal “Rasa Sayange” yang kita kenal
hingga hari ini berasal dari Maluku.
Masyarakat Indonesia seperti disulut urat marahnya, saat tahu tetangga sebelah
kembali memakainya tanpa permisi. Lokananta pun kembali beraksi, menjadi
pahlawan untuk kedua kali. Ternyata setelah ditelusuri lagu “Rasa Sayange”
tersebut masuk dalam kompilasi Asian Games: Souvenir From Indonesia. Album
ini merupakan buah tangan dari Indonesia bagi negara-negara peserta Asian Games
IV di Jakarta pada tahun 1962, Malaysia salah satunya.
Saat kasus klaim Tari Pendet oleh Malaysia pun Lokananta kembali bisa
menunjukkan bukti, bahwa pendet adalah budaya asli milik Indonesia. Lokananta
yang semula hilang pun akhirnya muncul di permukaan. Perusahaan rekaman yang
terletak di jantung kota Solo ini ramai dibicarakan oleh media. Sayangnya itu
tidak banyak merubah keadaan. Sebagai salah satu perusahaan rekaman tertua di
Indonesia, Lokananta adalah sebuah kehidupan purba. Perkembangan zaman dan
kemajuan teknologi seakan tidak terasa disini.
Tidak seperti gambaran perusahaan rekaman yang hip serta memajang
deretan musisi muda berwajah segar, Lokananta adalah kebalikannya. Perusahaan
rekaman tertua milik pemerintah ini hanya menyisakan sebuah nama besar. Gedung
utamanya yang bergaya art deco seperti mengamini. Kusam dan muram.
Waktu seperti berjalan lebih lambat di Lokananta.
Ada dua gedung utama yang dimiliki Lokananta; gedung lama dan gedung baru.
Keduanya dipisahkan oleh sebuah jalan yang mengarah ke gedung lain milik
Lokananta yang saat ini berubah fungsi sebagai lapangan futsal yang disewakan
untuk umum. Setahun ini Lokananta memang sedang rajin-rajinnya mengundang
masyarakat untuk datang. Lapangan futsal hanya salah satunya. Studio rekaman
yang sebelumnya eksklusif, kini dibuka untuk umum. Pun demikian dengan
dibukanya Sekolah Musik Lokananta.
Gedung lama Lokananta berbentuk persegi dengan banyak ruang. Di bagian beranda
ada toko yang menjual produk rekaman seperti kaset atau CD, tepat di
seberangnya adalah ruang untuk pemesanan. Masuk ke dalam, terdapat ruang mastering.
Disinilah koleksi-koleki piringan hitam dialihkan ke bentuk CD. Di seberangnya,
ruang pimpinan berderetan dengan museum mini yang menyimpan benda-benda
memorabilia seperti alat pemutar piringan hitam, mesin pengganda kaset,
beberapa koleksi piringan hitam, juga satu partisi yang memajang lagu
"Indonesia Raya" tiga stanza beserta sampul piringan hitamnya serta
foto Bung Karno yang berdiri gagah. Dua ruang penyimpanan koleksi piringan
hitam dan kaset video persis berada setelahnya.
Sedangkan yang disebut gedung baru adalah ruang studio rekaman. Gedung ini
dibangun tahun 1980 dan diresmikan lima tahun setelahnya oleh Harmoko, Menteri
Penerangan saat itu. Dua buah ruangan di samping studio difungsikan sebagai
ruang administrasi dengan perabot sisa-sisa peninggalan zaman Orde Baru, jika
menilik pada tahun inventarisasi ditempel. Satu set komputer seperti menjadi
penanda adanya modernisasi di Lokananta yang sudah sepuh.
Tidak ada lalu-lalang pekerja seperti kondisi sebuah kantor pada jam kerja.
Jumlah pegawai Lokananta hanya 18 orang, dengan jabatan yang kebanyakan
berfungsi ganda dan sebentar lagi akan memasuki masa pensiun. Titik yang sudah
14 tahun bekerja di Lokananta memiliki jabatan sebagai administratur, akuntan,
sekaligus humas dan sesekali bagian arsip.
Ini terjadi sewaktu Titik menemukan piringan hitam “Terang Bulan” dan “Rasa
Sayange”, keduanya hampir dalam keadaan yang mengenaskan. Penuh debu dan
berjamur akibat terlalu lama disimpan. “Akhirnya saya berinisiatif untuk
membersihkan seluruh koleksi Lokananta dan menatanya kembali,” kata wanita asli
Klaten ini. Hasil kerja bakti Titik dibantu karyawan lain selama setahun ini
akhirnya bisa menyelamatkan ribuan koleksi piringan hitam Lokananta dari proses
pelapukan.
***
Jika diibaratkan, Lokananta mirip bank sentral dalam industri musik Indonesia.
Tidak ada koleksi lagu daerah di Indonesia ini yang lebih lengkap dari
Lokananta. Sayangnya tidak banyak dokumentasi dan pengarsipan yang jelas
tentang album yang sudah dikeluarkan oleh Lokananta dalam setengah abad
terakhir. Apalagi melakukan pendataan ulang terhadap ribuan koleksi lagu yang
dimiliki Lokananta bukanlah perkara mudah. Diakui atau tidak, sejak awal hingga
saat ini Lokananta tidak memiliki standar pengarsipan yang jelas. Banyak sekali
dokumen dan perjanjian dengan artis yang saat ini tidak bisa ditemukan lagi.
Beruntung ada seorang peneliti yang peduli. Phillip Yampolsky dalam
disertasinya yang berjudul Lokananta: A Discography of The national
Recording Company of Indonesia 1957-1985 merunut dengan baik semua koleksi
Lokananta. Ia melakukan penelitiannya pada tahun 1980-1982 sebagai disertasi
untuk University of Wisconsin. Buku Phillip inilah yang sekarang menjadi kitab
suci untuk menelusuri seluruh arsip rekaman yang dimiliki oleh Lokananta.
Dari penelitian Phillip, jenis keroncong, pop dan lagu Melayu mendominasi
koleksi Lokananta. Selain itu koleksi lainnya meliputi genre lagu perjuangan,
lagu gereja, klenengan, langgam Jawa, degung Sunda, tarling Banyumasan, gandrung
Banyuwangi, pop Madura, lagu Batak, hadrah, gambus, hingga siaran propaganda
milik Pemerintah RI.
Lokananta juga berperan menyimpan kepingan sejarah perjalanan bangsa ini. Lagu
"Indonesia Raya" dalam tiga stanza telah tersimpan lama, jauh sebelum
Roy Suryo membuat heboh dengan berbicara di depaninfotainment jika dia
menemukannya di Leiden. Rekaman pidato Bung Karno pada beberapa acara penting
juga bisa ditemukan disini, salah satunya pada Konferensi Asia Afrika tahun
1955 di Bandung.
Aden Bahri, anak dari Saiful Bahri, pencipta lagu "Terang Bulan",
merasakan betul bagaimana peninggalan ayahnya tadi masih disimpan dengan baik
oleh Lokananta. “Awalnya yang bilang Bens Leo waktu kita ngumpul, saya lalu
ingat semua lagu di RRI ada back-up-nya di Lokananta”, kata Aden.
Meski demikian, koleksi-koleksi tadi beserta puluhan ribu koleksi lainnya yang
jumlahnya hampir mencapai lima ribu lagu dan 40 ribu keping piringan hitam,
kondisinya masih mengenaskan. Keping vinyl yang sensitif pada suhu
daerah tropis hanya disimpan dalam ruangan dengan sirkulasi udara yang minim.
“Ya cuma buka tutup jendela aja. Pas jam kantor kita buka, pas nanti waktu
pulang ditutup lagi”, ujar Titik dengan senyum getir. Untuk mengusir bau apek
ini Titik hanya mengandalkan pengetahuan tradisionalnya untuk perawatan
darurat. “Saya biasanya mencampur bubuk kopi dan kamper untuk mengusir bau,”
kata Titik.
Bandingkan dengan saudaranya, film. Sejak tahun 1975, film Indonesia memiliki
Sinematek Indonesia (SI) yang menyimpan dokumentasi perfilman Indonesia, mulai
dari materi film, skenario, poster film hingga surat undangan preview film.
Untuk menyimpan koleksi film, terdapat ruang penyimpanan khusus yang mempunyai
tingkat kelembapan tertentu untuk menjaga film tetap awet.
Bukannya mau menakuti tapi jika terus dibiarkan, lambat laun harta karun musik
Indonesia tadi akhirnya habis oleh jamur dan lenyap dimakan zaman. Lokananta
kemudian mengambil langkah penyelamatan dengan mendigitalisasi seluruh koleksi
piringan hitam ke bentuk audio CD. Baru dua tahun ini hal tersebut berjalan.
Meski telambat tapi langkah ini adalah solusi yang paling mungkin. “Ketika saya
masuk, proses digitalisasi ini baru dilakukan”, kata Bemby Ananto dari bagian re-mastering.
Lokananta memang kekurangan sumberdaya manusia untuk melakukan hal-hal yang
menyangkut teknis. Saat ini sudah hampir 80 persen dari lima ribu koleksi lagu
yang dialihkan ke bentuk digital.
Butuh usaha dan kerja keras dalam melakukan proses transfer ini. Sambil
bersandar dan diselingi sayup-sayup langgam Jawa hasil transfer , Bemby
bercerita bahwa dia sering lembur untuk urusan transfer digital ini. “Setiap
hari saya dengerin langgam Jawa dan lagu daerah, awalnya saya ndak suka,
tapi karena terbiasa akhirnya suka sendiri,” kata Bemby.
Dulunya ia adalah seorang mekanik. Bahkan sebelum di Lokananta, Bemby sempat
bekerja di Jepang selama beberapa tahun. Saat kontrak kerja habis dan Bemby
akhirnya pulang kampung, seorang teman menawarkan padanya untuk kerja di
Lokanata. Tanpa pikir panjang Bemby menerima saja tawaran temannya.
“Dulu saya nggak bisa sama sekali software rekam digital seperti ini.
Akhirnya saya belajar sendiri, otodidak,” kata Bemby. Ia mengaku Lokananta
adalah tempat kerja yang ia inginkan, meski masih sering alfa untuk masalah
kesejahteraan karyawan. “Saya mau kerja sampai Lokananta bisa kembali besar,”
kata pria asli Solo ini.
Menurut Bemby, rekaman lawas produksi Lokananta ternyata juga tidak sepi
peminat, meski yang sering datang adalah mereka yang masuk kategori old
school. “Sering ada bapak-bapak yang minta ditransferkan satu piringan hitam ke
dalam CD dengan format MP3,” kata Bemby yang juga bertugas mengubah album dalam
piringan hitam ke dalam bentuk digital.
“Beberapa bahkan jadi kolektor. Ada seorang dari Semarang yang sering datang,
setiap kali datang dia minta ditransfer lima vinyl sekaligus,” kata
Bemby. Satu lagu dihargai 25 ribu rupiah. Jika ada delapan track dalam satu vinyl,
maka biaya transfernya adalah 200 ribu rupiah.
***
Perkembangan teknologi memang ditanggapi secara lambat oleh Lokananta. Selain
baru saja mengadopsi teknologi format digital, Lokananta belum beranjak untuk
membuat situs sebagai sarana pemasaran digital. Pendi Heryadi, kepala
Lokananta, menjelaskan bahwa banyak kendala yang dihadapi untuk melakukan alih
teknologi. Hal klise seperti pendanaan dari pemerintah pusat dan kurangnya
sumber daya manusia adalah dua masalah utama yang dihadapai Lokananta.
“Kami ini sulit, sebagai sebuah perusahaan negara, ada struktur dan birokrasi
yang jelas, sedangkan Lokananta yang jauh dari pusat ini hanya bisa menunggu,”
kata Pendi. Dirinya juga menceritakan kalau selama ini pemeliharan peralatan
rekaman terpaksa dilakukan secara kanibal. Kembali lagi, ujung-ujungnya dana.
Dalam kantornya yang lengang Pendi menceritakan visinya sebagai nahkoda kapal
yang mau karam. “Saat ini kami lebih terbuka, tidak membatasi diri, kami
terbuka bagi siapapun yang punya itikad baik,” kata pria kelahiran Kuningan
ini. "Kalo nggak ada partner selain pemerintah, terus terang
saja kami sulit”, sambungya. Pendi berharap, Lokananta bisa menjadi lembaga
register musik Indonesia. “Nanti kan Lokananta akhirnya bisa menjadi semacam
perpustakaan musik Indonesia.”
Sebagai kepala Lokananta yang baru, Pendi tidak memiliki latar belakang apa pun
yang berkaitan dengan industri rekaman. Awal karir Pendi dirintis sebagai
pegawai di Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI), institusi yang
menaungi Lokananta setelah Departemen Penerangan dibubarkan pada tahun 1998.
Sebelum menjabat sebagai kepala Lokananta, Pendi sebenarnya ditugasi oleh
pimpinannya untuk melakukan riset pasar percetakan di Solo. Ternyata ada
pergantian kepemimpinan di PNRI pusat. Oleh pimpinan yang baru, Pendi kemudian
diangkat menjadi kepala Lokananta yang baru. “Industri rekaman adalah hal baru
bagi saya,” kata Pendi yang sebelumnya lebih banyak bergelut di bidang industri
grafika. “Pernah selama beberapa minggu saya bengong saja, ndak ngapa-ngapain”,
kata Pendi yang baru tiga bulan ini menjabat.
Indonesia di medio 1950-an. Saat itu RRI masih menjadi raja, radio dengan
jangkauan paling luas dengan segmen pendengar dari semua umur. Program utamanya
berupa siaran berita dan pemutaran musik permintaan dari pendengar yang dikirim
melalui lembar pilihan pendengar. Nama-nama musisi besar seperti Nat King Cole,
Frank Sinatra, dan Elvis Presley merajai chart musik RRI, mengalahkan
penyanyi lokal seperti Titim Fatimah yang beken dengan pop Sunda-nya.
“Saya juga lebih suka Nat King Cole waktu itu, Titim Fatimah kan ndak enak, ha
ha ha”, kata R. Iman Muhadi (72), pensiunan staf Direktur Utama dan Humas
Lokananta.
R. Maladi, Direktur RRI Jakarta saat itu pun terlihat resah melihat kenyataan
bahwa lagu Barat mendominasi pasar pendengarnya. Maladi lalu menginstruksikan
kepada 49 jaringan RRI di seluruh Indonesia untuk mengirimkan rekaman lagu
daerah masing-masing. Setiap stasiun lokal minimal mengirimkan dua buah lagu.
Dalam waktu singkat, RRI memiliki 98 buah lagu daerah dari seluruh pelosok
Nusantara. Seluruh koleksi itu akhirnya diperbanyak dalam bentuk piringan hitam
dan disebarkan kembali ke seluruh cabang RRI di seluruh Indonesia. Pabrik
pengganda pringan hitam yang awalnya hanya memenuhi kebutuhan siaran RRI inilah
cikal bakal Lokananta.
Maladi, yang pernah diangkat menjadi Menteri Penerangan selama dua periode
(Kabinet Kerja I dan Kabinet Kerja II), bersama dua rekannya R. Oetojo
Soemowidjojo dan R. Ngabehi Soegoto Soerjodipoero yang masing-masing menjabat
sebagai Kepala Studio dan Kepala Teknik Produksi RRI Surakarta pun berinisiatif
mendirikan pabrik piringan hitam milik pemerintah. Akhirnya, tepat pada tanggal
29 Oktober 1956 pukul 10 pagi waktu Jawa (sekarang WIB), Lokananta resmi
berdiri di Solo. Pabrik Piringan Hitam Lokananta, Jawatan Radio Kementrian
Penerangan Republik Indonesia di Surakarta, begitu nama lengkapnya.
Sebelum Lokananta, perusahaan piringan hitam ini bernama Indra Vox. Indra
adalah singkatan dari Indonesia Raya, sedangkan Vox adalah bahasa latin yang
artinya suara. “Sayangnya nama Indra Vox ini ditolak oleh Presiden Soekarno,
soalnya menurut beliau ndak jelas,” kata Muhadi. Setelah mencari berbagai nama
pengganti, akhirnya Maladi menyebut Lokananta, seperangkat gamelan surgawi yang
bisa berbunyi sendiri dengan nada yang indah. Alat musik ini terletak di negeri
Suralaya, negeri para dewa menurut mitos pewayangan Jawa. Presiden Soekarno
setuju. Entah ada hubungannya atau tidak, namun hingga hari ini seperangkat
gamelan Kyai Sri Kuncoro Mulyo yang ada dalam ruangan studio Lokananta seringkali
berbunyi sendiri. Bisa jadi memang benar; nama adalah doa.
Selain Lokananta, saat itu ada lima perusahaan rekaman besar lain di Indonesia,
yaitu Remaco, Mesra, Elshinta, dan Dimita yang ada di Jakarta. Sedangkan di
luar Jakarta yang paling besar adalah Golden Hand. Masing-masing perusahaan
rekaman memiliki pasar dan segmennya sendiri. Seperti Remaco (Republic
Manufacturing Company) yang banyak merekam lagu dengan genre keroncong
Kemayoran atau Golden Hand di Surabaya yang lebih suka merekam dangdut.
Lokananta sendiri, terkait PP No. 125 Tahun 1961, lebih banyak merekam berbagai
macam lagu daerah, khususnya keroncong dan langgam Jawa. Segmentasi musik pada
masa itu kebanyakan sangat dipengaruhi oleh letak geografis.
Pemilihan kota Solo sebagai markas Lokananta pun merupakan cerita yang menarik.
Saat itu Maladi berpikir bahwa Solo adalah pusat budaya karena dekat dengan
empat kerajaan besar di Jawa yang masih eksis: Kasunanan dan Mangkunegaran di
Solo serta Kasultanan dan Pakualaman di Jogja. Niat awal didirikannya Lokananta
memang menjadi pusat rekaman untuk lagu dan budaya Nusantara. Selain itu karena
pusat RRI pada waktu itu adalah di Solo bukan di Jakarta.
“Kalau diibaratkan sumur, ini merupakan sumber budaya yang kalau digali ndak
akan kering”, kata Muhadi. Sangat mungkin jika masterplan Maladi berhasil, Solo
saat seperti Hilversum, sebuah kota pusat yang menjadi pusat industri media di
Belanda. Idenya juga serupa, berawal dari sebuah Hilversum Radio.
Pada awalnya Lokananta tidak memiliki studio sendiri. Semua rekaman dilakukan
di studio milik RRI di seluruh Indonesia. Paling banyak dilakukan di RRI Solo.
Akses istimewa ini didapat karena memang Lokananta lahir sebagai perusahaan transcription
service untuk mendukung kinerja RRI pada saat itu. Hasil rekaman pun pada
awalnya tidak dijual untuk umum, melainkan hanya dibagikan secara terbatas
untuk seluruh stasiun RRI di Indonesia. Tapi karena banyaknya permintaan
pendengar RRI untuk mengoleksi album terbitan Lokananta, akhirnya pada tahun
1959 perusahaan negara di bawah Departemen Penerangan ini mulai menjual hasil
piringan hitamnya secara mandiri untuk khalayak umum.
“Waktu itu pendengar RRI suka sekali sama keroncong dan lagu daerah,” kata
Muhadi yang saat itu masih menjadi tenaga honorer di RRI.
Masa keemasan Lokananta, itu terjadi pada dekade 1970-1980. Saat itu Lokananta
sudah beralih menggunakan kaset. Teknologi kaset diadopsi oleh Lokananta
tepatnya pada tahun 1972, sedikit terlambat beberapa tahun dari perusahaan
rekaman lainnya.
“Waktu itu penjualan piringan hitam menurun drastis, saat itu saya ditunjuk
untuk melakukan riset pasar. Ternyata penyebabnya adalah para pembeli lebih
suka format kaset daripada bertahan dengan vinyl,” kata Muhadi yang saat itu
jabatannya di Lokananta adalah sebagai Manajer Produksi.
Lokananta pun berubah haluan. Muhadi ingat ini adalah perubahan yang sangat
besar dalam sejarah Lokananta, dimana sebelumnya perusahaan ini memang
dikhususkan sebagai perusahaan piringan hitam. Format kaset ini akhirnya
direspon manis. Setiap bulan Lokananta mampu melepas 100 ribu keping kaset di
pasaran. Lagu-lagu Waldjinah serta berbagai gending Jawa menjadi jaminan laku
saat itu.
“Selain itu produksi kita yang pasti laris adalah murottal Al-Quran dan adzan.
Pasar terbesar untuk dua jenis terakhir ini ada di Jawa Timur,” kata Muhadi.
Ternyata problem pembajakan bukan hanya masalah yang dihadapi industri musik
saat ini saja. Sejak tahun 1982 Lokananta sudah berhadapan dengan para pembajak
amatir. Pertama kali dicurigai karena penjualan kaset Lokananta menurun sejak
saat itu. Muhadi kembali ditugaskan untuk melakukan riset pasar, akhirnya dia
berhasil menemukan fakta bahwa banyak kaset Lokananta yang dibajak. Khususnya
lagu-lagu populer yang banyak diminati masyarakat.
“Zaman segitu saya menghadapi 129 kasus pembajakan, itu cuma di Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Kami ajukan gugatan perdata di pengadilan. Saya berjuang sendiri
saat itu. Kebanyakan pembajak ada di Surabaya, Malang, dan Bangkalan,” kata
Muhadi.
Dia menemukan adanya hubungan antara keluarnya Indonesia dari Konvensi Berne
pada tahun 1958 dengan maraknya pembajakan. “Karena kita tidak ikut aturan hak
cipta internasional, maka bebas saja mencetak lagu dari luar negeri tanpa harus
bayar royalti. Puncaknya adalah ketika para pembajak ini akhirnya juga membajak
lagu-lagu dalam negeri. Industri musik bisa mati,” kata Muhadi.
Selain itu, budaya kolusi juga membuat munculnya banyak perusahaan rekaman
bodong. “Mereka itu paradesk enterpreneur yang ndak punya label dan kantor
tapi bisa menerbitkan album. Aneh kan ?” kata Muhadi.
Akhirnya sebagai salah satu petinggi Lokananta, Muhadi dituntut untuk mulai
belajar hukum dan seluk beluk industri rekaman. Muhadi mengatakan jika saat itu
pemerintah memberikan perhatian terhadap kasus pembajakan dan mengeluarkan
perundangan yang ketat, maka pembajakan tidak akan subur seperti hari ini.
“Kasus pembajakan ini persoalan klasik industri musik,” kata Muhadi.
***
Meski mengecam keras perbuatan para pembajak, tapi di sisi lain Lokananta juga
tidak bisa memberikan standar yang jelas mengenai pembayaran royalti kepada
artis-artisnya.
“Saya nggak tahu itung-itungannya gimana, tau-tau dikasih duit”, kata
Waldjinah. Maestro keroncong ini masih terlihat kenes, meski sudah tiga tahun
ini penyakit infeksi usus menggerogoti tubuhnya. Beberapa saat lalu, dirinya
juga sempet jatuh terpeleset ketika mengisi sebuah acara di studio RRI Jakarta.
“Masih sulit buat berdiri, sudah dua bulan ini saya nggak bisa nyanyi”.
Lahir di Solo, 7 November 1945, Waldjinah memulai karier menyanyinya sejak usia
13 tahun. “Dulu ibu saya sempat nggak setuju, dibilang mirip ledhek (wanita
penghibur)”, paparnya sambil terkekeh. Debutnya adalah sebuah kompetisi
kerjasama studio RRI Surakarta dan Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini)
dalam rangka promo film terbaru yang berjudul Delapan Pendjuru Angin.
Lagu wajibnya adalah lagu keroncong berjudul "Kembang Katjang" yang
menjadi theme song film yang dibintangi oleh Bambang Irawan dan
Chitra Dewi ini. Waldjinah, yang saat itu merupakan peserta termuda, mendapat
juara satu. Dirinya kemudian mendapat gelar "Ratoe Kembang Katjang."
Tidak berselang lama, Waldjinah lalu ditawari Lokananta untuk rekaman album
kompilasi Kembang Katjangbersama S. Bekti dan S. Harti yang lebih senior.
Untuk diingat, menjadi artis Lokananta adalah hal yang prestisius bagi musisi
saat itu. Kriterianya hanya dua, tapi justru inilah yang membuat hanya sedikit
musisi yang bisa menembus.
”Cuma yang jadi juara Pemilihan Bintang Radio RRI atau yang diminta sama
Lokananta”, kata Waldjinah. Tahun 1959, album Kembang Katjang dilempar
ke pasaran.
Debut album penuh Waldjinah adalah album Ngelam-Ngelami rilisan tahun
1967. Album ini berisi enam lagu. Beberapa diantaranya adalah ciptaan Gesang,
seperti "Ngelam-ngelami," "Andung Basuki," dan "Dadi
Ati."
Sayang, dirinya tidak tahu persis berapa album yang sudah dihasilkan saat
bergabung dengan Lokananta. “Saya lupa jumlahnya, udah lama sekali. Tapi ada
penggemar saya dari Jepang yang muter-muter di Lokananta sama Jalan Surabaya
(Menteng, Jakarta) nyari piringan hitam saya lalu dikasih ke saya. Ya belum
lengkap semuanya sih” kata Waldjinah.
Jumlah pastinya akhirnya didapatkan dari sebuah penelitian milik Sukanti dari
Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta pada tahun 2002. Total ada tiga belas
album berformat piringan hitam. Sebelas album merupakan album solo Waldjinah,
sisanya merupakan kompilasi dengan penyanyi lain. Sedang yang berformat kaset
sejumlah empat belas album. Selain keroncong, langgam Jawa juga mendominasi.
Memang Waldjinah terkenal dengan lagu “Walang Kekek” yang direkam oleh label
Elshinta pada tahun 1968, tapi Lokananta lah yang dianggap punya andil penting
memoles penyanyi yang pernah berduet dengan Chrisye di lagu "Semusim"
ini. Lokananta merupakan perkenalan pertamanya dengan dunia rekaman. “Waktu itu
mikrofonnya cuma ada satu dan tinggi banget, saya kudu pakai dingklik (bangku
kecil), yang mbero (vokal latar) waktu itu adalah pak Gesang”, kata Waldjinah.
Tahun 1965, Waldjinah mendapat gelar sebagai Bintang Radio Jenis Keroncong
Tingkat nasional. Pialanya diserahkan langsung oleh Bung Karno. Ini adalah
gelar yang paling berkesan diantara setumpuk penghargaan yang pernah diraihnya.
“ Ini gelar pertama dan terakhir. Pertama kali saya dapat piala, terakhir kali
Bung Karno yang nyerahkan piala, ujar Waldjinah. “Lokananta yang membuat saya
dikenal...dan laku”, sambungnya kemudian.
Bagaimana tidak, Lokananta seakan punya penciuman yang tajam. Sesuai target
pasar lagu-lagu Waldjinah, momen-momen yang berkaitan dengan tradisi masyarakat
Jawa dimanfaatkan betul untuk berjualan album rekaman. ”Setiap Bakdha (Idul
Fitri dan Idul Adha) sama musim giling tebu, Lokananta pasti bikin rekaman dan
semua laku”, kata Waldjinah. Album Entit yang dirilis tahun 1971
menjadi album Waldjinah yang paling laris. Namun ketika ditanya berapa keping
yang terjual, baik dari Waldjinah maupun Lokananta tidak bisa memberi jawaban
yang pasti. “Saya pernah 3 bulan sekali rekaman album baru”, ujar Waldjinah
seakan memberi gambaran kejayaan dirinya masa itu.
Larisnya penjualan album membuat Waldjinah ramai ditanggap di berbagai tempat,
yang paling diingat adalahshow di Malang pada tahun 1970. “Tempatnya indoor dan
berjubel, tiba-tiba ada polisi nembak ke atas, pelurunya mental di atap lalu
nyasar kena penonton. Dua mati,” kenang Waldjinah.
Sayang, karena pembajakan yang semakin menggila di medio 80-an, kerjasama
Waldjinah dan Lokananta harus terhenti. Pada tahun 1983, album Entit yang
dirilis ulang dalam bentuk kaset menjadi salam perpisahan bagi hubungan yang
sudah terjalin selama lebih kurang 25 tahun. “Lokananta kewalahan ngadepi
kaset-kaset saya yang dibajak,” ujar Waldjinah. Lokananta tidak sanggup lagi
memproduksi album dari Waldjinah. Saking gemasnya, pernah dalam satu kesempatan
saat di Surabaya Waldjinah sengaja memborong kaset-kasetnya yang dibajak.
Setelah tidak lagi bersama Lokananta, Waldjinah gonta-ganti label rekaman.
Labelnya yang terakhir adalah PT Gema Nada Pertiwi, kontraknya berakhir pada
2006. Sejak saat itu, Waldjinah enggan untuk kembali menjajal dapur rekaman.
”Malas kalau modelnya masih jual putus, nggak jelas itung-itungannya,” kata
Waldjinah.
Kini keseharian Waldjinah diisi dengan memberikan pelajaran menyanyi keroncong.
Namanya “Belajar Menyanyi Keroncong”. Tempatnya di garasi rumahnya yang ada di
daerah Mangkuyudan, Solo. Siapapun yang berminat bisa ambil bagian tanpa
dipungut biaya. Sejak dimulai tahun 2004, semua biaya yang keluar diambil dari
kocek Waldjinah sendiri.
Dua tahun belakangan, pemerintah kota Solo memberikan uang pembinaan seiring
dengan dicanangkannya Solo sebagai Kota Keroncong pada tahun 2007 silam.
Waldjinah juga menjabat sebagai ketua Himpunan Artis Keroncong Republik
Indonesia (HAMKRI) untuk wilayah Solo dan sekitarnya.
Meski sudah tidak ada hubungan kerja lagi, Waldjinah tetap menganggap Lokananta
sebagai titik terpenting karier musiknya. Diakui Waldjinah, studio rekaman Lokananta
adalah yang terbaik. “Saya sudah pernah coba beberapa studio, tapi Lokananta
tetep yang paling bagus”, katanya sambil mengacungkan ibu jari.
Ruangannya yang seluas 14x31 meter membuat tak kesulitan untuk rekaman live.
“Akustiknya juga bagus sekali, mau diluar petir sedang kenceng, tetep aja
suaranya gak bisa masuk,” ujar Waldjinah seraya menambahkan kualitas sound
studio Lokananta juga tetap yang terbaik. “Saya tidak ingin Lokananta hilang”,
kata Waldjinah, sesaat kemudian dirinya terdiam.
“Lokananta itu sebuah sejarah.”
Dalam kesempatan terpisah, artis besar Lokananta lainnya, Bubi Chen, mengatakan
hal yang sama. “Rekaman di Lokananta begitu berkesan,” kata Bubi Chen. “Rekaman
saya adalah rekaman jazz pertama yang dilakukan Lokananta,” kata pianis yang
masuk satu dari sepuluh besar pianis jazz dunia versi majalah Downbeat ini.
Lokananta dengan studionya yang besar memang memungkinkan untuk melakukan live
recording, sebuah proses rekaman secara langsung karena permainan jazz yang
penuh improvisasi. Oleh karena itu materi rekaman tidak direkam terpisah dalam
tiap-tiap track. Saat itu nama kelompoknya adalah Bubi Chen Kwartet, salah satu
anggotanya adalah Jack Lemmers, atau lebih dikenal dengan sebutan Jack Lesmana.
Mereka merekam delapan buah lagu, beberapa diantaranya berjudul “Buaian Asmara”
dan “Semalam”. Sayang, kover piringan hitam ini sudah hilang. Salah satu bukti
bahwa Lokananta tidak memiliki standar pengarsipan yang baik.
***
Jika diibaratkan, Lokananta sekarang seperti kura-kura Galapagos. Tua, besar
dan berjalan lamban. Segala kejayaan dan cerita-cerita manis seperti menguap.
Sebetulnya situasi ini berawal setelah Deppen sebagai tempat bernaung Lokananta
dibubarkan seiring jatuhnya Orde Baru. Lokananta sempat mengalami masa-masa
vakum selama kurang lebih tiga tahun.
Aktivitas rekaman terhenti meskipun penjualan album masih berjalan. “Kami cuma
rekam ulang album-album lama untuk dijual lagi”, terang Titik. Yang kena
getahnya adalah koleksi piringan hitam dan kaset hasil produksi sejak tahun
1956. Arsip-arsip penting dalam sejarah perjalanan industri musik Indonesia itu
praktis hanya dibiarkan teronggok berdebu di sudut gudang. Membayangkannya saja
sudah membuat miris.
Keberadaan Lokananta sebagai brankas musik nasional rupanya sempat menjadi
rebutan beberapa pihak. “Pemprov Jawa Tengah dan Pemkot Solo sempat berminat
untuk mengelola Lokananta”, papar Pendi. Namun upaya tersebut terbentur status
Lokananta sebagai BUMN. Ketidakjelasan status Lokananta akhirnya menemui titik
terang pada tahun 2004. Lewat usaha Subrata, mantan Dirut Perum PNRI, status
Lokananta resmi berada dibawah Perum Percetakan Negara RI. Namanya pun berubah
menjadi Perum PNRI Cabang Surakarta, yang bertahan hingga sekarang.
Satu demi satu puluhan ribu piringan hitam dan kaset yang terserak ditata.
Untuk menjaga jumlah koleksi, sejak tahun 2004 Lokananta tidak lagi menjual
piringan hitam. Usut punya usut, rupanya a hal ini membuat sistem pengarsipan
Lokananta sedikit kacau, kalau tidak mau dikatakan buruk. “Dulu, kalau satu
album laris ya semuanya kita jual, ndak disisakan buat disimpan. Dulu belum
berpikir kalau ini bakal jadi historical, jadi aset. Mungkin besok kaset
nasibnya juga kayak gini”, kata Titik.
Jika mengingat Tahun Industri Kreatif yang didengungkan pemerintah sejak
setahun silam, kisah Lokananta adalah suatu ironi. Bagaimana cikal bakal
inudstri musik nasional, yang merupakan subsektor dalam industri kreatif,
justru terlupakan (atau sengaja dilupakan). Perumpamannya seperti sebuah rumah
besar dengan pondasi yang keropos. Padahal presiden kita saat ini punya
hubungan yang erat dengan industri ini, setidaknya jika dilihat dari tiga
produk industri musik yang sudah dihasilkannya.
Sampai detik ini, Lokananta tetaplah sosok tua yang sendirian. Studio besar itu
tetap saja sepi dari aktivitas rekaman meski sudah ada penambahan fasilitas
rekaman hingga 24 track. Studio besar yang kosong itu terus menunggu. Menanti
musisi-musisi muda jenius untuk menggantikan para virtuoso alumnus Lokananta
yang sayup-sayup suaranya masih bergema di dinding Lokananta, hingga hari ini.
------
Artikel ini pernah dimuat di majalah Rolling Stone Indonesia edisi Mei 2010 dan
kembali dimuat di RollingStone.co.id dalam rangka menyambut ulang tahun
Lokananta ke-56 yang jatuh pada 29 Oktober mendatang.
0 comments
Post a Comment