“SELERA PASAR INDUSTRI MUSIK =
KEBOHONGAN PUBLIK”
(Kita Bisa Menciptakan Pasar)
*baca sambil ngopi
-Artikel Panjang-
Semoga sudah banyak yang lebih
dahulu sadar atas kalimat yang saya tulis sebagai judul di atas. Karena yang
akan saya bahas sekarang ini adalah hasil pengamatan saya selama 3 tahun
terakhir, khususnya dalam meneliti kinerja dan mekanisme major label di
Indonesia (yang sayangnya; jauh dari kesan ingin memajukan bangsa). Sumber
infomasi yang saya dapat dari berbagai source, termasuk pengalaman saya ketika
beberapa bulan dalam media 2011 ini sempat berinteraksi dengan kaum-kaum bohemian
di industri permusikan tanah air.
Ketika banyak sekali band-band di
negeri ini yang karyanya ditolak mentah-mentah oleh beberapa perusahaan rekaman
raksasa, hanya ada satu alasan lah yang paling sering muncul ke permukaan,
yaitu : “tidak sesuai selera pasar”. Tampak semudah itu “karya-karya emas”
mereka disebut sebagai : “sampah yang tidak bernilai”, bahkan di-judge dengan
vonis mati sebagai sebuah “musik yang tidak punya nilai jual”. Alasan yang
tidak berdasar memang. Ya, konyol. Kenapa?? Di bawah nanti akan terbahas
semuanya :D .
Faktor permintaan pasar yang
mereka andalkan dalam setiap alasan bullshit mereka, nampaknya telah sukses
membuat para musisi potensial di negeri ini patah semangat. Sama patah
semangatnya dengan para petani yang masih susah makan nasi dan beli beras,
serta para pekerja di SPBU yang kemana-mana naik angkot dan kesulitan beli
bensin. Ironis. Sehingga pada akhirnya, para musisi tersebut rela
“menelanjangi” kreatifitas, identitas, serta ideologi bermusik mereka.
Berakting “bodoh” di sebuah koridor dalam bidang profesi mereka sendiri. Ruang
lingkup kreatifitas yang sebetulnya sangatlah bisa untuk membuat mereka
terlihat “pintar”. Ya, jelas sekali bahwa musisi tampak bodoh ketika bermain
musik dalam cengkeraman major label. Apa yg sebenarnya mereka mainkan?! Ada
yang bilang nothing, ada yang masih mengakui itu sebagai musik (walaupun kurang
berkualitas), ada juga yang tidak tahu jawabannya apa. Simpel sih, semua itu
hanya agar si perusahaan (baca : mesin pengeksploitasi “karya seni”
menjadi “uang”) tersebut rela menerima mereka sebagai pegawai. Hmm, belum
selesai. Maksudnya, pegawai dalam lingkaran setan ciptaan mereka. Sebuah
jebakan sintetis yang sebetulnya banyak tidak disadari oleh para musisi zaman
kekinian. Well, seperti yang kita sama-sama tahu, ini hanyalah kisah klasik
yang sudah sangat sering terjadi di Indonesia dari waktu ke waktu. Sengaja saya
sedikit bahas untuk bahan pembukaan dalam sebuah notes satu ini. Hehe.
“SELERA PASAR INDUSTRI MUSIK =
KEBOHONGAN PUBLIK”
Jika diibaratkan dengan sangat
kasar, proses kerja sama yang terjadi antara musisi Indonesia dan major label,
sama seperti ini : seorang wanita yang datang ke suatu tempat “khusus”
untuk mendapatkan beberapa lembar rupiah. Dia rela didandani agar tampil cantik
dan menarik. Dia terus-menerus “dipercantik” oleh “kosmetik” khusus, yang
komposisi ramuannya hanya diketahui oleh pihak yang mendandani (baca :
label) saja. Di sana seringkali terucap kalimat : “Udahlah, kalian tau
beres saja…ingin cepat populer kan?”. Ya, itulah salahsatu senjata mereka.
Sebuah kalimat yang sukses bikin mati kutu para musisi/band yang kebanyakan
dari sebelumnya memang sudah dibutakan oleh iming-iming akan popularitas.
Singkat cerita, penampilan outlook
si band tersebut akhirnya justru melebihi kenyataan (baca : menor).
Kemudian, setelah didandani secantik mungkin (cantik menurut germo), si wanita
itu malah “dipakai” oleh orang lain. Dan proses perputaran uang pun terjadi.
Uang masuk, jasa keluar. Ya, ukuran income-nya cukup besar lah untuk
penghasilan satu orang dalam satu hari kerja. Walaupun bisnisnya relatif
illegal. Namun, kembali ada pertanyaan, kemana larinya uang tersebut? Apakah
uang tersebut menghampiri dia yang telah didandani sampai menor tadi?? Oh,
jangan berbahagia jika hidup di negeri ini. Jawabannya, tidak. Karena dia hanya
dapat cipratannya saja. Sebagian besar uang tadi resmi jadi milik mereka yang
“mendandani”. Oke, di sini saya akan berhenti menggunakan kata ganti orang
ketiga jamak, dan mulai menamai mereka dengan ekspilisit. Ya, mereka itu tidak
lain adalah sang germo. Dan sebuah rumus persamaan dalam analogi di atas
adalah, jika “major label = germo”, dan “musisi = pelacur”, maka “industri
musik tanah air = lahan prostitusi”. Selamat tertawa. Jangan menyangkal, ini
sudah dan sedang terjadi di negara kita, bung.
Itu adalah sebuah peribaratan
dalam bentuk yang sangat kasar tentang permusikan di Indonesia. Sengaja saya
sajikan di sini agar minimal kita semua bisa memandang bersama-sama akan suatu
proses yang seringkali terjadi di negeri ini, sehingga kelak kita semua bisa
mengerti. Mengerti bahwa musisi terpaksa harus rela “didandani” oleh para
produser dan label, agar mereka menjadi menarik menurut kebanyakan orang
(baca : orang-orang yang sebetulnya masih sama jahatnya dengan mereka yang
mendandani). Kemudian, setelah secara subjektif penampilan mereka dinilai sudah
cukup untuk dikatakan “menarik”, mereka pun diasumsikan akan “laku” di pasaran.
Dan hal itu terbukti benar. Sang musisi seolah merasa itu adalah jerih
payahnya, padahal semua itu memang sudah diatur dalam startegi kapitalis major
label yang cerdas namun licik. Job berdatangan, popularitas mereka pun mulai
meninggi. Namun pundi-pundi rupiah yang datang dalam jumlah yang cukup besar
tersebut ternyata hanya masuk ke banyak kantung para “pria berjas” terlebih
dahulu. Sehingga musisi kembali hanya dapat “dedek kopinya”, tapi tetap saja
berterimakasih kepada major label yang di mata mereka sungguhlah berjasa.
Bahkan banyak dari mereka yang pada akhirnya terkesan sebagai band-band yang “menghamba”
pada label. Ibarat seorang pelacur yang harus melayani 4-5 orang konsumen per
harinya agar dia bisa makan nasi selama maksimal 2 hari, para musisi pun
akhirnya terpaksa untuk rela melakukan itu semua. Hanya karena satu
alasan : agar musik mereka laku di pasaran.
Ingat baik-baik kata terakhir di
paragraf di atas : “pasaran”. Bukan kerenda mayat, tapi selera pasar.
Kita akan membahas itu sekarang. Apa itu “pasar”, apa itu “selera pasar”,
benarkah seperti itu mekanismenya? Yeah. Tapi sebelumnya, saya minum kopi dulu
ya. Slurrrppp….
Singkat cerita, saya telah
bertanya kepada 10 orang secara random via Facebook, Twitter, dan juga secara
lisan. Semuanya merupakan orang-orang yang menjadi listener dalam musik. Saya
sengaja tidak jajak pendapat dari kaum pemain band, pencipta lagu, atau bahkan
pengamat musik. Tujuannya, agar kelak jawaban dari survey ini bisa representative
terhadap topik yang saat ini saya bahas. Jawaban dari para listener adalah
jawaban yang tepat untuk mewakili orang-orang yang major label sebut sebagai
“target pasar” yang potensial. Sasaran empuk untuk dihujam dengan produk seni
yang semakin semena-mena. Pertanyaan nya sangat simpel kok :
“SIAPA MUSISI FAVORIT KALIAN??”
Jawaban :
Orang ke-1 : Padi & Letto (band)
Orang ke-2 : Angels & Airwaves (band)
Orang ke-3 : Ridho Rhoma & Sonet2 (band)
Orang ke-4 : Barry Likumahua dan Maliq & D’Essentials (band)
Orang ke-5 : D’Massive sama Peterpan (band)
Orang ke-6 : Burgerkill dan Blink182 (band)
Orang ke-7 : The S.I.G.I.T dan Nirvana (band)
Orang ke-8 : Iwan Fals (vokalis) dan Efek Rumah Kaca (band)
Orang ke-9 : Killing Me Inside (band)
Orang ke-10 : Morissey (band)
“BERHARAP GA, INDONESIA BISA MENGHASILKAN MUSISI TANAH AIR YANG LEBIH
BAIK, LEBIH BAGUS, LEBIH JAGO, LEBIH HEBAT, DAN LEBIH KEREN DARI MUSISI FAVORIT
ANDA-ANDA SEKALIAN SEJAUH INI??? YAA…HARAPAN AKAN MUNCULNYA SOSOK-SOSOK BARU
LAH YANG KELAK BISA KALIAN JADIKAN IDOLA SELANJUTNYA DAN MENGHARUMKAN NAMA
INDONESIA LEWAT MUSIK.”
Jawaban :
Orang ke-1 : Wah pastinya…
Orang ke-2 : Nya enya atuh… (trans : Ya iya atuh)
Orang ke-3 : Justru emang harus ada mas…
Orang ke-4 : Berharap dong…
Orang ke-5 : Iyalah.
Orang ke-6 : Pengen lah ada musisi lokal yg lebih baik dari yg sejauh saya tau mas…
Orang ke-7 : Ada sih harapan. Tapi kayanya susah. Tapi berharap sih…
Orang ke-8 : Kudu pisan aya boy ! Lain berharap deui sayah mah…
Orang ke-9 : Iyah. Pengen….
Orang ke-10 : Kalo ada pasti, saya support…
Oke, cukup segitu dulu
pengumpulan sampel nya. Menurut fakta berdasarkan survey di atas, 100% dari 10
orang yang saya beri pertanyaan ini ternyata mempunyai keinginan yang sama
mengenai kemajuan permusikan di tanah air, dan mereka semua bersedia mendukung
agar industri tersebut lebih mencerdaskan bangsa dalam menghasilkan karya,
termasuk dalam hal mencetak musisi/seniman. Di sini mulai terlihat rancu akan
istilah “selera pasar”, yang selama ini seolah-olah sudah menjadi tembok tebal
sekaligus benteng tertinggi bagi para musisi Indonesia untuk terus positif
berkarya. Tuh, buktinya para listener senantiasa berharap kok, akan lahirnya
musisi/band baru yang lebih bagus dari idola mereka, apalagi jika itu
datangnya dari dalam negeri.
Next facts, akan berisi
penilitian saya secara unofficial. Saya tidak cukup mahir dalam survei,
observasi, riset, dan pengumpulan sampel data. Saya hanya bisa mengamati,
menganalisa, dan menuliskan semua hasilnya dengan sejujur-jujurnya. Lah, ini
jadi semacam kata pengantar yang hadir di tengah-tengah penulisan. Ya, tak
apalah. Kopi dulu mas’e, keburu dingin ntar.
Kali ini, saya telah meneliti
sebuah elemen lain bernama TELEVISI. Penelitian yang berlangsung santai dan
bebas dari tanpa kejaran deadline ini saya kerjakan selama beberapa bulan
terakhir terhitung sejak Februari 2011, lengkap dengan pengamatan khusus
terhadap isi acaranya, dan peran-fungsi pengasuh acara di channel-channel
swasta tersebut. Sejauh ini, terdapat banyak sekali korelasi dan hukum
sebab-akibat yang erat, yang selalu terjadi antara peran-fungsi TV (media)
dengan faktor-faktor penyebab kemunculan para musisi baru di Indonesia.
Sebelumnya, maaf jika saya
terkesan men-judge stasiun TV di Indonesia sebagai media yang sudah terlalu negatif
untuk kita semua. Mungkin saya tidak akan bertindak demikian, jika ayah saya
tidak tiba-tiba menyewa TV kabel murah di rumah, hanya untuk berharap agar
acara-acara TV bisa menjadi lebih berkualitas dan terkesan lebih layak untuk
dikonsumsi, khususnya oleh para warga negara yang senantiasa haus akan
pencerdasan.
Hmm, well, TV. Sebuah media
audio-visual yang oleh Jerinx (drummer dari band Superman Is Dead) dipelesetkan
istilahnya menjadi “Televishit”. Tindakan dari drummer cerdas dan karismatik
dari Pulau Bali tersebut seolah menandakan kepada saya pribadi, bahwa saya
ternyata tidak sendiri, kami tidak pernah sendiri, dan kita tidak akan sendiri
dalam menentang sebuah kesalahan yang bersifat mutlak dan fundamental di negeri
ini. Apalagi yang bersifat “pembunuhan kreatifitas” secara halus. Banyak yang
ternyata masih satu persepsi dengan saya, kami, anda, kalian, dan kita. Mari
belajar bersama mulai saat ini, and make a move to change.
Lanjut, televisi di Indonesia
secara ajaib berhasil “menghipnotis” jutaan pasang mata di Indonesia. Berbagai
jenis kemasan acara entertainment, baik yang berbau musik atau tidak, ternyata
tetap sama saja menghasilkan output yang hiperbola bagi psikologis masyarakat,
khususnya bagi kaum remaja dan ABG. Contohnya kecilnya, siapapun yang masuk TV,
pasti dapat pujian “berlebih” dari banyak orang (disamping serangan kritik yang
tidak juga kalah pedas), seperti yang bisa kita mudah simak di beragam acara reality
show atau talent scout yang berhasil survive beberapa tahun terakhir ini. Ya,
bukan tidak mungkin salah satu alasan acara-acara tersebut bisa survive itu
dikarenakan jumlah penonton yang sudah terhipnotis itu akan selalu ada, bahkan
bukan tidak mungkin jika jumlahnya akan bertambah terus dari waktu ke waktu.
Acara tersebut pun akan selalu laku akan pemirsa.
Jika diperhatikan, bibit-bibit
seni yang ada di acara tersebut (terlepas dari berkualitas tinggi, sedang, atau
kurang), pasti disambut dengan teriakan histeris oleh penonton dari bawah
stage, seolah orang-orang “kemarin sore” tersebut sudah sekitar 5 tahun eksis
sebagai musisi berkualitas di kancah permusikan tanah air, sehingga wajar
jumlah fansnya membludak. Padahal jelas-jelas mereka baru 2 minggu mejeng di
televisi. Para fans dadakan itu sepertinya muncul secara natural-natural saja.
Namun menurut saya sepertinya tidak. Sekali lagi TV berhasil menanamkan imej luxurious
kepada kita semua. Nampak ada status sosial yang bernilai mewah untuk mereka
yang bisa nampang dari balik layar kaca, lengkap dengan wardrobe mahal dan
sorotan lampu cahaya bak superstar dan disaksikan oleh seantero negeri. Seolah
sudah tidak ada lagi yang peduli mereka sebenarnya siapa dan ada apa dibalik
ini semua. Perlakuan atas mereka pun seolah dipukul rata oleh para fans dadakan
yang sebetulnya berhasil dihimpun dan dibentuk secara “manual” oleh acara-acara
artificial tadi. Itu hanya sebatas euforia dan hiperbola buatan para pengasuh
stasiun televisi kepada masyarakat Indonesia, yang di mata mereka sudah jelas
terbaca sebagai : kumpulan omnivora yang siap mengkonsumsi segala hidangan
dari balik layar kaca. Apapun yang masuk TV, tanpa melihat baik-buruknya,
bagus-jeleknya, atau salah-benarnya, pasti dikonsumsi habis-habisan oleh
mayoritas pemirsa di Indonesia yang (mungkin) masih butuh sedikit bimbingan.
Sudah seharusnya mereka itu bisa lebih kritis, selektif, dan lebih tajam dalam scanning
and filtering acara-acara di TV. Karena kegiatan menonton TV itu bukan murni
hiburan kan, harus selalu ada sisi edukatifnya. Tujuan John Logie Baird
menciptakan TV juga pada awalnya untuk tujuan edukasi dan penyebaran
informasi. Namun lagi-lagi single barrier yang kita temukan adalah : tidak
adanya acara TV yang mengajarkan masyarakat agar kritis terhadap acara-acara di
televisi. Okay, sejauh ini, saya harap anda sudah bisa menangkap peran-fungsi
televisi yang saya maksud dari awal itu seperti apa. Terima kasih sebelumnya
sudah mau membaca sebuah artikel panjang buatan saya hingga sejauh ini.
Lanjut, jadi begitulah mekanisme
awalnya. Pertama, musisi yang bersedia jadi “boneka” perusahaan major label
mereka kumpulkan dan dibariskan dengan rapi. Mengantri untuk dijadikan sapi
perah. Kedua, para musisi tersebut diberi jalan untuk masuk TV. Terkenal lewat
tampil di semacam artificial concert / lip-sing contest. Ketiga, masyarakat
yang haus hiburan (dan sebenarnya juga haus pencerdasan) tidak punya banyak
opsi dalam memilih acara TV mana yang bakal mereka tonton. Semua acaranya sudah
seragam dan setipe, serta acara-acara yang seharusnya ditampilkan karena
berkualitas justru perlahan-perlahan telah dipangkas porsinya oleh penguasa TV.
Ditambah mindset bahwa orang-orang yang ada di TV itu sangat-sangatlah “WAH”,
maka mereka telah berhasil menjadi pemirsa setia acara-acara low-grade tersebut.
Kaum kapitalis senang karena bisnis busuk mereka sukses membodohi rakyat.
Masyarakat terpaksa mendukung sebuah proses terjadinya SUICIDE PROMOTION bagi
para musisi yang kebelet ingin tenar, juga mendukung proses terciptanya SELERA
PASAR YANG PALSU, yang kelak akan jadi statement pamungkas para major label
yang busuk. Cape baca?? Iya, sama saya juga cape ngetik. Kopi duluu maasss….
Nah, kalau sudah begini,
lingkaran setannya sudah jadi deh. Ketika jutaan pasang mata yang terhipnotis
hanya bisa terdiam sebagai konsumen loyal acara-acara tersebut, maka paradigma
yang tercetus bahwa “inilah permintaan pasar industri musik yang sesungguhnya” pun
mulai disebarluaskan ke seluruh pelosok negeri dengan teknologi promosi dan
distribusi mereka yang memang canggih dan mutakhir, khususnya ke lokasi-lokasi
pedalaman di Indonesia. Tempat dimana masyarakat belum bisa membedakan banyak
hal. Tempat dimana mereka hanya merasa ingin dapat pencerdasan namun tidak
sadar bahwa mereka selalu didikte oleh media dan TV. Seolah ini benar terjadi,
bahwa inilah tuntutan jutaan penduduk Indonesia tentang musik yang ingin masuk
ke telinga mereka, seolah nyata bahwa inilah selera masyarakat akan permusikan.
Dan kita mau tidak mau harus mengikutinya supaya band kita laku. Padahal, ini
semua dikarenakan masyarakat sudah dicekoki dan tidak berdaya melawan dominasi
channel-channel TV swasta. Peran fungsi stasiun radio yang harusnya menjadi media
filter bagi kehadiran musik-musik baru sebelum masuk ke TV, kini malah
berbalik. Radio hanya memutar musik-musik yang sudah lebih dahulu populer lewat
TV. What the hell?? Ditambah lagi, ketika musik-musik yang sebetulnya tidak
harus mereka dengar tersebut semakin akrab dengan telinga mereka, maka kaum
major label telah dinyatakan berhasil MENUDUH RAKYAT INDONESIA, bahwa inilah
selera musik yang sedang trend di Indonesia dan rakyat lah yang membentuknya.
Strategi yang cukup mantap, ciri khas kaum kapitalis sejati. Tapi sekarang
ketahuan kan, palsunya dimana? Selamat minum kopi semuanya. Oh, sudah habis
yah? Yasudah. Wassalam.
-Bobbie Rendra-
(8 November 2011)
0 comments
Post a Comment