Features - Reviews [ Sejarah Band indie di Indonesia ]
Kamis, 24/05/2012 03:05:22 WIB
Musisi Indonesia, banyak mengadopsi budaya barat dalam
berkarya. Sebagai negara bagian dunia ketiga, kita memiliki banyak
ketertinggalan dalam soal ekonomi dibanding dengan negara-negara maju. Akhirnya
musik kelas bawah di belahan utara bumi, diadaptasi oleh kelas menengah di
Indonesia. Karena kelas menengah memiliki kesempatan lebih untuk mengintip
perkembangan dunia musik luar negeri ketika itu.
Tak heran presiden Soekarno kala itu pernah memenjarakan
Koes Ploes, karena musiknya dituduh identik
dengan budaya kapitalisme internasional. Soekarno dengan padangan politiknya
melihat musik Koes Ploes, bukan hal yang penting bagi kelas bawah di Indonesia.
Koes Plues juga tak salah jika mengadaptasi musik yang menurut mereka
mengekspresikan kebebasan.
Pada tahun 70an perkembangan musik di belahan utara bumi
melaju cepat, memacu juga perkembangan musik di tanah air. Guruh Gipsy, Gang
Pegangsaan, Good Bless, Giant Step, Super Kid, The Rollies, dll adalah sederet
nama yang bisa disebut sebagai peletak fondasi musik Indonesia
pada masa kontemporer. Secara musikalitas mereka adalah maestro-maestro dunia
musik Indonesia. Mereka juga mempopulerkan semangat kemerdekaan (baca indie),
dalam berkarya. Walau pada jaman itu belum ada manajeman musik yang cukup
bagus, tapi dengan pengalaman seadanya mereka mulai bekerja sama membangun
jaringan. Hal itu dilakukan guna meluaskan musik mereka. Tercatat pula majalah
Aktuil, banyak membantu perkembangan musik pada masa 70an. Melalui tulisan dan
peran aktif individu-individu di dalamnya, Aktuil mempromosikan band-band pada
jaman itu.
Tetapi isu-isu sosial belum dianggap penting,
untuk dibicarakan dalam lirik-lirik mereka. Kalopun ada, belum menjadi sesuatu
yang dominan. Bahkan beberapa grup band (utamanya rock), masih suka memainkan
karya-karya band luar negri. Ekspresi kemerdekaan akhirnya hanya menjadi
penghias keseharian, gaya hidup bebas ala musisi rock pun menjadi pilihan
mereka.
Pada periode 1990an, perkembangan musik underground semakin
pesat. Booming Sepultura dan Metalica, menginfluence anak-anak muda Indonesia.
Berhadapan dengan industri mainstream yang didominasi oleh rock melayu, artis wanita dll,
maka jalur underground-lah yang dipilih. Dengan berbasiskan komunitas serta
mengandalkan fanzine (bulletin-buletin), budaya underground semakin meluas.
Dimulailah pembangunan secene-scene musik alternative, di masa itu.
Kota-kota besar seperti Bandung, Jakarta, Surabaya, Malang
dan Jogjakarta, menjadi tempat berkembangnya komunitas-komunitas underground.
Pada massa itu musik metal menjadi sebuah suguhan altenatif. Selain itu banyak
band, mulai berani berekspresi dengan menempatkan isu-isu sosial dalam lirik-liriknya.
PAS band memulai tradisi merilis album secara indie. Album
mereka, from toght with S.A.P terjual lebih dari 5000 copy. Selanjutnya banyak
band metal dan rock lain, memakai metode indie. Tercatat nama-nama seperti
Pupen, Koil, Burger Kill, Rotten to The cure dll di masa-masa awal,
perkembangan musik Indie kontemporer Indonesia.
Ada sekian banyak album, termasuk album-album kompilasi yang
dirilis bersama oleh band-band pada jaman itu. Mereka terbantukan dengan pembangunan komunitas-komunitas
musik. Begitu juga dengan fanzine (bulletin), yang berfungsi untuk
mempromosikan hasil karya mereka. Panggung-panggung kecil juga kerap digelar di
kafe-kafe. Hal ini selaras dengan pembangunan industri kreatif kaum muda
lainnya, seperti clothing dan distro.
Istilah Indie, baru populer di pertengahan tahun 1990an.
Awalnya Indonesia lebih mengenal istilah underground bagi musik yang ‘lari’
dari trend budaya mainstream. Perkembangan musik luar yang menghasilkan beberapa varian-varian baru seperti grunge, brit pop,
hip-hop, melodic punk dll. Hal ini menyeret anak-anak muda Indonesia pada
sekian banyak pilihan bermusik. Selanjutnya di kota-kota besar, banyak
bermunculan band-band serta komunitas-komunitas dengan varian musik yang
beragam. Sejak saat itu istilah underground mulai digantikan dengan istilah
Indie. Mungkin istilah underground, dirasa terlalu identik dengan musik metal.
Maka istilah indie dengan kesan yang lebih modern, mulai lazim di gunakan.
Pure Saturday, menjadi pionir band-band dengan aliran selain metal yang membuat album rekaman
sendiri. Grup band ini tercatat mencetak album pertamanya pada tahun 1995,
dengan tajuk ‘Not A Pup E.P’. Keberhasilan mencetak album ini lantas diikuti
oleh sederet nama lain seperti Waiting Room, Pestol Aer, Toilet Sound dll.
Selanjutnya booming Indie semakin menjadi, ketika Moka (band
Swing Pop asal Bandung) sukes menembus angka di atas 100.000 copy dalam
penjualan kaset mereka. Keberhasilan Moka, turut membawa dampak bagi
perkembangan musik indie. Selanjutnya deretan nama seperti Puppen, Shagy Dog, Superman Is
Dead, Rocket Rockers, Superglad dll, mencuri perhatian para penikmat musik.
Bahkan beberapa nama di atas, mendapat kontrak dari
label-label rekaman besar. Kontrak ini, sempat menjadi perdebatan di
scene-scene Indie. Sebagian dari para scenester, menganggap hal ini sebagai
pengkhianatan terhadap idealisme independent. Sebagian lagi menganggap ini,
sebagai peluang memperkenalkan musik mereka secara massal.
Terlepas dari perdebatan-perdebatan tersebut, musik Indie tetap mendapatkan tempat di
dunia musik Indonesia. Beberapa band seperti The S.I.G.I.T, The Upstairs, The
Brandals, The Milo, Bangku Taman, Efek Rumah Kaca, Teenage Dead Star, Seek Six
Sick, The Adams, White Shoes And The Couple Company, Goodnight Electric dll,
mendapatkan tempatnya di hati para penikmat musik. Terakhir delapan album
rilisan band dan label indie, masuk dalam jajaran 20 album terbaik versi
Rolling Stone tahun 2008. Ini membuktikan bahwa kualitas musik band-band Indie
di Indonesia sangat baik.
Karena mampu bersaing dengan karya band dan label besar (baca : mainstream).
Bahkan dalam hal penyebaran karya, mereka sangat maju.
Ketika industi musik mainstream berteriak soal bajakan, beberapa band Indie di
Indonesia dengan bangga membagi-bagikan cd album mereka secara gratis. Metode
yang bertolak belakang dengan keinginan para produser musik mainstream.
KOIL merilis album Black Shines On, membagikannya sebagai
bonus majalah Rolling Stone Indonesia. Langkah ini diikuti oleh Naif dan Rosewood. Sebelumnya The Upstairs, melepas lagu mereka secara gratis lewat
situs my Space. Langkah ini meniru band-band luar negeri (Radiohead, Coldplay
dan Metalica).
Semangat-semangat perlawanan juga masih terdengar dalam
lirik-lirik band indie di Indonesia. Terakhir kita dengar Efek Rumah Kaca yang
lugas dalam merekam realitas sosial. Lagu ‘Di Udara’ misalnya, bercerita soal
kematian Munir. Selanjutnya ada ‘Cinta Melulu’, yang mengkritik soal budaya
latah musisi Indonesia dalam membuat lirik-lirik
lagu cinta. Hits lainnya ‘Jalang’, mengkritik kebijakan UU Pornografi dan
Pornoaksi.
Narasumber :
0 comments
Post a Comment