by musikator on 15/05/08 at 9:38 am
Artikel berikut adalah sumbangsih
dari Wena, seorang scenester indie dan produser acara teve lokal (Bali)
Seperti diketahui, Indie memang berasal dari kata Independent.
Namun harus dibedakan antara independen sebagai:
(1) status artis/band atau minor label yang tidak dikuasai/dikendalikan major label
(2) independen dalam konteks indie sebagai subkultur dan genre musik
Untuk pengertian :
(1), sejarahnya
dimulai sejak awal abad 20 dengan kemunculan minor label seperti Vocalion atau
Black Patti yang kala itu berupaya mengikis dominasi major label semacam
Victor, Edison, dsb. Walaupun independensi pada pola dan jaman itu tidak
menjalin akar dengan pengertian
(2), mereka bertendensi serupa sebagai
antitesis mainstream dengan merilis musik kaum minoritas seperti blues,
bluegrass, dsb. Tapi saat itu yang terjadi sekadar rivalitas antara kapital
kecil melawan kapital besar dan pergerakannya tidak bersifat integral. Lalu di
era 50-an mulai berkembang wacana independen untuk memerdekakan kreativitas
dari intervensi kepentingan industri. Kendati demikian, kondisi yang tercipta
tidak menghasilkan karakter signifikan. Bipolarisasi terhadap arus utama belum
terwujud. Mereka memang berproduksi secara minor tapi iramanya masih mengacu ke
pola major label juga. Walaupun bermotif kebebasan berekspresi, mereka hanya
independen secara kapital dari major label namun orientasi musiknya tetap setipe
major label.
Kecenderungan awam dalam
menyikapi istilah indie adalah menyamaratakan semua yang independen sebagai
“indie”. Dengan demikian itu hanya bertumpu ke unsur kata (independen) saja
sebagai kemerdekaan secara harafiah dan tanpa batas. Ada pula yang
mempertanyakan “indie” dalam kapasitasnya sebagai kebebasan mutlak. Padahal
independensi dalam wacana (2) sangat berbeda dengan (1). Artinya istilah indie
sesungguhnya masih merujuk ke spesifikasi tertentu. Indie akan mampu dipahami
secara proporsional bila ditelusuri ke konteks historis atau wacana terjadinya
pembentukan istilah itu. Namun jarang ada media yang mau menggali lebih dalam.
Sehingga “indie” cenderung dikotakkan sebagai musik laris manis yang cocok bagi
selera awam. Sedangkan musik indie sesungguhnya yang underrated malah
diabaikan. Hal semacam itulah yang kerap menimbulkan miskonsepsi publik bahwa
“indie” semata-mata pola kerja dan kemurnian idealisme. Bagaimana bila sebuah
band beridealisme mainstream tapi mereka berproduksi secara swadaya? Apakah itu
termasuk indie? Tentu tidak. Karena independen secara minor label atau
self-released tidak menjamin artis/label itu berkarakter indie. Karena
seseorang yang berjiwa mainstream pun bisa saja menghasilkan karya berkarakter
mainstream tapi dikemas secara Do-It-Yourself dengan dalih kebebasan
ekspresi atau budget minim.
Kasusnya seperti gaya rambut suku
indian “Mohawk” yang sudah ada sebelum punk. Namun orang cenderung
menggeneralisir semua gaya rambut mohawk sebagai representasi punk. Padahal
tidak semua orang yang berambut mohawk menganut ideologi punk. Demikian pula
halnya pada pemahaman minor label atau self-released yang disetarakan indie,
padahal keduanya bukan parameter mutlak bagi status indie. Oleh karena itu,
perlu ada pembelajaran bagi masyarakat agar mereka tidak latah terhadap istilah
“indie”. Artinya publik patut memahami bahwa segala sesuatu yang independen
belum tentu indie dan indie belum tentu independen (secara label). Asal
mula kata independent menjadi indie bermula dari tabiat anak-anak muda Inggris
yang suka memotong kata agar mempermudah pelafalan informal seperti;
distribution menjadi distro, british menjadi brit, dsb. Di balik pemendekan
kata independen itu kemudian terkandung sebuah definisi kontekstual indie yang
menjadi basis pergerakan subkultural. Sehingga sejak masa itu tidak sembarang
makna independen secara umum bisa diasosiasikan dengan indie. Namun hingga kini
pun orang awam masih sering salah paham dengan menyamakan makna indie dalam
wacana (2) dengan independen dalam wacana (1).
Namun seperti uraian di atas, dalam
perkembangannya istilah indie mengalami perluasan makna akibat eksploitasi
media massa yang menjadikannya rancu. Secara general, definisi indie di
Indonesia cenderung dipublikasikan sebagai pola kerja mandiri semata. Padahal
esensi indie bukan sekadar kemandiriannya saja, namun lebih kepada
Roots-Character-Attitude (RCA) yang bertumpu pada resistensi terhadap
mainstream. Sebagai contoh, The Smiths dan New Order dirilis oleh Warner Music
namun reputasinya masih diakui sebagai band indie karena RCA mereka adalah
indie. Bahkan secara internasional indie diakui sebagai genre. Itu artinya, ada
sebuah konsensus global yang memahami indie dalam spesifikasi musik tertentu.Lalu
bagaimana menentukan band itu indie atau bukan? Disinilah arti penting
parameter RCA yang telah disebutkan tadi. Guna mendistribusikan rekaman indie,
para scenester (aktivis musik) indie membangun jalur distribusi di luar sistem
mainstream yang kemudian dikenal sebagai distro. Dengan demikian, indiepop
sebenarnya menerapkan unsur-unsur budaya resistensi punk walaupun para
pelakunya tidak berdandan ala punk. Keistimewaan indie terletak pada jaringan
kerjanya. Indie tanpa networking akan menjadi benteng tanpa prajurit. Dalam
relasinya indie cenderung lebih mengedepankan unsur humanis. Dukungan
mutualisme semacam ini sebenarnya adalah warisan dari 3 dekade silam ketika
indie label yang lebih besar memberi dukungan kepada indie label yang lebih
kecil untuk berkembang lebih pesat tanpa mengawatirkan rivalitas pasar. Indie
bergerak kepada orientasi pendengar yang segmentatif. Kalaupun akhirnya
mendapat respon luas, itu dianggap senagai bonus saja. Faktor penentunya adalah
sikap artis/band indie tersebut ketika mulai dikenal secara luas. Mereka harus
lebih bijak dalam menjaga pakem agar karakternya tidak terseret menjadi pasaran
atau kacangan.
Bisa dibilang indie yang ideal
adalah indie yang ekslusif. Parameter tersebut adalah RCA yang mengacu pada
subkultur indiepop itu sendiri. Singkatnya indie adalah etos cutting edge,
avant garde atau budaya kreatif yang menjadi alternatif dari pola-pola musik pada
umumnya.
Seiring perkembangan corak musik,
indiepop masa kini secara musikal memang tidak lagi sarat dengan punk. Namun
etos punk masih dan akan selalu dianut olah para musisi indiepop di belahan
dunia manapun. Dengan musik yang sangat catchy dan selling, sebenarnya banyak
band indiepop yang berpeluang besar untuk menjadi artis jutaan kopi dengan
menawarkan demo ke major label. Namun mereka tidak melakukan itu karena
orientasi mereka bukan sekadar popularitas dan kemewahan, namun lebih kepada
kepuasan personal dan idealisme dalam berkarya. Bahkan ada yang menolak tawaran
manggung hanya karena skala pentas dan panggungnya terlalu besar.
Sikap semacam itu pun banyak
ditunjukkan band indiepop lainnya dengan menjaga jarak dengan pers umum. Inilah
contoh sikap punk yang berbeda dari stereotipe artis mainstream. Musisi lokal
yang memang ingin menjadi indie seharusnya banyak belajar dari situ sehingga
mereka tidak menjadi popstar wannabe yang terobsesi gemerlap popularitas secara
mainstream. Kurt Cobain bisa jadi contoh ideal sebagai figur musisi indie
karena dia malah depresi saat musiknya kian terkenal dan pasaran. Indiepop
mengajarkan pada kita bahwa pop tidak diukur dari sebarapa banyak rekaman yang
terjual atau seberapa banyak penggemarnya. Ketika industri mainstream
menganggap musik yang bagus harus dilegitimasi oleh hype/trend massal dan
dominasi chart, indiepop secara murni menghargai musisi dari musiknya, bukan
dari popularitas. Indiepop juga meyakini bahwa pop tidak harus masuk Top 40
atau diliput media mainstream. Pop dalam konteks indiepop adalah cita rasa
berbalut sikap menentang mainstream.
Kurang lebih 10 tahun sudah
indiepop eksis di Indonesia sebagai sebuah genre dan kultur tandingan; setipe
dengan metal, punk maupun hardcore bersama fanzine-nya yang telah berkembang
lebih dahulu. Bandung dan Jakarta adalah dua kota yang menjadi sentra kemunculan
dan berkembangnya indiepop di negeri kita. Dari sana baru beberapa tahun
kemudian indiepop mulai menyebar sampai ke Jogja, Surabaya, Semarang, bahkan
hingga kota kecil seperti Purwokerto, Malang, Bogor, Salatiga, dst.
Beberapa tahun kemudian, Jakarta
semakin berkembang dengan lahirnya generasi baru yang tidak sekadar terpengaruh
britpop, melainkan varian yang lebih progresif (twee, jangle, bliss, folk,
dsb.). Blossom Diary, Santa Monica, The Sweaters, Sugarstar, C’Mon Lennon,
Ballads of the Cliché, Belladonna, dan The Sastro adalah sekian dari banyak
penerus kultur indiepop saat ini. Jangkauan mereka pun makin mendunia dengan
dirilisnya karya mereka oleh berbagai label indiepop di luar negeri.
Perkembangan indiepop di Jakarta juga ditunjang oleh maraknya komunitas yang
tersebar di hampir seluruh penjuru Ibu kota seperti Balai Pustaka, Senayan
Street, dsb. Berkat pergerakan semacam itulah scene Jakarta mampu terus
berkembang melalui regenerasinya yang sangat dinamis. Begitu pula dengan
perkembangan scene musik di Bandung dan Jogja.
Dalam skala global, indiepop
telah berkembang menjadi jaringan kerja antar bangsa yang memungkinkan
terjadinya rotasi untuk saling merilis rekaman di negara masing-masing. Mereka
bisa saling berkomunikasi dengan baik karena idealisme mereka terhadap indie
sama-sama merujuk kepada pemahaman internasional,. Jaringan ini akan semakin
solid dengan munculnya generasi baru yang tumbuh dengan idealisme mengakar
dalam jiwa mereka, yaitu spirit independensi untuk selalu menjadi counter-culture
terhadap musik mainstream, resistensi pada tren atau selera awam, dan idealisme
self-sustain/self-indulgement yang menjadi karakter eksistensinya, seperti
kawan-kawan mereka di negara lain di seluruh belahan dunia.
Semoga wacana ini bisa menjadi pengantar
bagi kamu yang ingin lebih mendalami musik indie. Mulailah dengan memahami
bahwa independen belum tentu indie dan indie belum tentu independen (secara
label). Dari situ niscaya kamu akan memperoleh pencerahan untuk menyadari bahwa
selama ini “indie” yang dimanipulasi secara mainstream adalah suatu pembodohan.
Jadi kalau ada band pop non-major label yang musiknya setipe Colpdlay atau
Nidji dan mereka mengklaim dirinya “indie”, berarti kamu sedang dibodohi.
Narasumber :
WENA
0 comments
Post a Comment